Pontianak

thumbnail for this post


Pontianak

Pontianak adalah ibu kota provinsi Kalimantan Barat di Indonesia yang didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai ibu kota Kesultanan Kadriyah pada tanggal 23 Oktober 1771/14 Rajab 1185 AH.

Syarif Abdurrahman Alkadrie mengembangkan Pontianak sebagai pelabuhan perdagangan di pulau Kalimantan, menempati area seluas 107,82 km2 di delta Sungai Kapuas pada titik yang bergabung dengan anak sungai utamanya, Sungai Landak . Kota yang berada di garis khatulistiwa ini dikenal luas dengan sebutan Kota Khatulistiwa (Equatorial City). Pusat kota kurang dari 3 kilometer (2 mil) di selatan khatulistiwa. Pontianak adalah kota terpadat ke-26 di Indonesia, dan kota terpadat keempat di pulau Kalimantan (Kalimantan) setelah Samarinda, Banjarmasin, dan Balikpapan.

Kota ini didirikan sebagai desa nelayan Melayu kecil di tepian Sungai Kapuas. Itu kemudian menjadi kursi Kesultanan Pontianak selama beberapa abad. Pontianak kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda setelah ada kesepakatan antara Kesultanan Pontianak dan Pemerintah Belanda. Pada masa kolonial, Pontianak pernah menjadi tempat tinggal Residentie Westerafdeeling van Borneo , salah satu Karesidenan Hindia Belanda.

Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, Pontianak menjadi lokasi pembantaian Pontianak, di mana banyak bangsawan dan sultan Melayu serta orang-orang dari kelompok etnis lain dibantai oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, terutama di Pembantaian Mandor (Holocaust of Mandor).

Setelah Jepang menyerah, Pontianak menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Barat.

Pontianak adalah kota multikultural, sebagai perbedaan etnis kelompok seperti Dayak, Melayu, Bugis, dan Tionghoa tinggal di kota, dengan beberapa pendatang seperti Jawa, Madura, Batak, Ambon, Papua, dan Manado. Ini telah menciptakan budaya yang tidak dapat ditemukan di bagian lain Indonesia. Berbagai bahasa digunakan di Pontianak, seperti bahasa Melayu Pontianak, bahasa Dayak dan dialek Cina yang berbeda dan beberapa jenis bahasa Melayu, Dayak, Jawa, Batak, dan Bugis.

Pontianak terhubung melalui udara ke kota-kota lain di Indonesia. Indonesia serta beberapa kota di Malaysia seperti Kuala Lumpur dan Kuching. Jalan beraspal yang menghubungkan Pontianak ke kota lain seperti Ketapang dan Singkawang serta provinsi lainnya. Karena Pontianak terletak di Jalan Tol Trans Kalimantan, maka perjalanan ke Malaysia Timur dan Brunei dapat dilakukan melalui jalur darat menggunakan Jalan Tol Trans Kalimantan. Beberapa rute bus beroperasi dari Pontianak ke Kuching di Malaysia dan Bandar Seri Begawan di Brunei.

Daftar Isi

  • 1 Sejarah
    • 1.1 Etimologi
    • 1.2 Perkembangan Awal
    • 1.3 Aturan Kolonial
    • 1.4 Kemerdekaan
  • 2 Geografi
    • 2.1 Zona waktu
    • 2.2 Iklim
  • 3 Iklim
  • 4 Divisi Administratif
  • 5 Demografi
    • 5.1 Etnis
    • 5.2 Bahasa
    • 5.3 Agama
  • 6 Ekonomi
    • 6.1 Industri
    • 6.2 Pertanian
    • 6.3 Perdagangan
  • 7 Pendidikan
  • 8 Budaya
    • 8.1 Kuliner
  • 9 Transportasi
    • 9.1 Udara
    • 9.2 Laut
    • 9.3 Darat
  • 10 Sister city
  • 11 Lihat juga
  • 12 Referensi
  • 13 Tautan luar
  • 1.1 Etimologi
  • 1.2 Perkembangan Awal
  • 1.3 Aturan Kolonial
  • 1.4 Kemerdekaan
  • 2.1 Zona waktu
  • 2.2 Iklim
  • 5.1 Etnis
  • 5.2 Bahasa
  • 5.3 Agama
  • 6.1 Industri
  • 6.2 Pertanian
  • 6.3 Perdagangan
  • 8.1 Masakan
  • 9.1 Udara
  • 9.2 Laut
  • 9.3 Tanah

Sejarah

Etimologi

Kota ini dulunya adalah ibu kota Kesultanan Pontianak yang merdeka dan didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 sekitar stasiun perdagangan tua di pantai Kalimantan. Itu dibangun di atas tanah berawa yang sering terkena banjir di tepi sungai, membutuhkan bangunan yang akan dibangun di atas tiang untuk menjaganya dari tanah. Nama Pontianak mengacu pada cerita tentang hantu yang oleh masyarakat Kalimantan Barat disebut sebagai Pontianak (hantu perempuan ganas dalam bahasa Melayu); Itu adalah sarang hantu sampai Syarif Abdurrahman Alkadrie dan pasukannya bertempur dan mengusir hantu yang menyerang kelompoknya dengan menembakkan bola meriam. Ia kemudian membangun masjid dan istana, tepatnya di lokasi sarang hantu, dan menetap. Masjid dan keraton menjadi bangunan pertama di Kota Pontianak. Hingga saat ini, penduduk setempat menembakkan meriam karbit yang terbuat dari kayu gelondongan setiap Ramadhan dan acara liburan untuk menghormati Sultan.

Pontianak dalam bahasa Cina dikenal sebagai 坤甸, pinyin: Kūndiān. Sedangkan dalam bahasa Tionghoa Hakka lokal, Pontianak dikenal dengan sebutan Khuntîen.

Dalam mitologi Malaysia, Pontianak juga merupakan nama makhluk astral yang konon merupakan arwah perempuan yang meninggal saat hamil. Cerita serupa tentang Pontianak pertama kali muncul dari dongeng mitos dan cerita rakyat yang populer di Kalimantan (Borneo) sebelum kota ini dibangun dalam skala besar dengan habitat alaminya. Ini adalah peradaban kuno yang aktif di akhir abad ke-17.

Perkembangan Awal

Sejarah kota Pontianak yang ditulis oleh sejarawan Belanda, V.J. Verth dalam bukunya Borneos Afdeling Wester yang isinya sedikit berbeda dengan versi cerita yang beredar di masyarakat saat ini.

Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak pada 1773 dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut Al Habib Husin), meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan saudara perempuan Sultan Banjar Alam Sunan Nata dan dilantik sebagai Pangeran. Ia berhasil dalam perdagangan dan mengumpulkan modal yang cukup untuk mempersenjatai kapal dan perahu kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di pelabuhan Pasir. Abdurrahman menjadi orang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan Sungai Landak bercabang dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur. Inilah wilayah yang sekarang disebut Pontianak. Ia kemudian mendirikan Kesultanan Pontianak dengan dirinya sebagai sultan pertama.

Kesultanan tersebut mendatangkan buruh Tionghoa pada abad ke-18 untuk bekerja di tambang emas atau timah. Sejumlah perusahaan pertambangan ( kongsi ) menikmati otonomi politik. Ketika Belanda memperluas kekuasaannya di Kalimantan, pada tahun 1777, orang Tionghoa mendeklarasikan pembentukan Republik Lanfang (Tionghoa: 蘭芳 共和國), dipimpin oleh Luo Fangbo untuk menentang upaya Belanda menjajah Kalimantan Barat, termasuk Pontianak. Para pemukim kemudian memilih Luo sebagai presiden pengukuhan mereka. Luo menerapkan banyak prinsip demokrasi, termasuk gagasan bahwa semua urusan kenegaraan harus melibatkan konsultasi warga negara republik. Dia juga menciptakan seperangkat badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang komprehensif. Republik tidak memiliki militer tetap, tetapi memiliki kementerian pertahanan yang mengelola milisi nasional berdasarkan wajib militer. Selama masa damai, penduduk kebanyakan bergerak di bidang pertanian, produksi, perdagangan, dan pertambangan. Divisi administratif Lanfang mencakup tiga tingkatan (provinsi, prefektur, dan kabupaten) dengan orang-orang yang memilih pemimpin untuk semua tingkatan. Lanfang bersekutu dengan Sultan Abdurrahman dari Kesultanan Pontianak. Lanfang juga dinyatakan sebagai negara bagian dari Kekaisaran Qing Cina.

Pemerintahan Kolonial

Pada tahun 1778, penjajah Belanda dari Batavia memasuki Pontianak, dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda menduduki daerah yang berseberangan dengan istana kekaisaran yang sekarang dikenal sebagai Tanah Seribu atau daerah Verkendepaal.

Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Kesultanan Pontianak mengenai Verkendepaal sehingga Melayani wilayah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Residen het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Karesidenan Kalimantan Barat) dan Asisten Residen het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Kabupaten Pontianak). Daerah ini kemudian menjadi Controleur Onderafdeeling van het Hoofd Hoofd Pontianak atau Plaatselijk Bestuur van Pontianak. Asisten Residen het Hoofd van der Afdeeling Pontianak (semacam Bupati Pontianak) mengatur Plaatselijk Fonds. Badan tersebut mengelola eigendom atau kekayaan pemerintah dan mengurus dana pajak.

Orang Belanda pertama kali mengakui keberadaan Republik Lanfang. Namun, Belanda memutuskan untuk memperluas wilayahnya di Kalimantan, hal ini ditentang oleh pejabat Lanfang. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, Kekaisaran Qing Tiongkok melemah secara substansial dan semakin tidak dapat mendukung Republik Lanfang sebagai negara bawahannya. Warga negara Republik melakukan perlawanan yang gigih, tetapi akhirnya gagal karena persenjataan yang buruk. Lin Ah Sin adalah pemimpin terakhir Lanfang. Banyak warga Lanfang dan keturunannya pergi ke Sumatera atau Singapura. Tiga kampanye yang dilakukan oleh Tentara Hindia Belanda melawan kongsi Tiongkok, yang disebut Perang Kongsi, adalah:

  • Ekspedisi ke Pantai Barat Kalimantan (1822–24 )
  • Ekspedisi melawan Tionghoa di Montrado (1850–54)
  • Pemberontakan Tionghoa di Mandor, Kalimantan (1884–85)

Karena kalah jumlah dan kurangnya persenjataan yang efektif oleh Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang lebih unggul dan dilengkapi, Lanfang akhirnya menyerah kepada Belanda pada tahun 1884 dan dibubarkan. Waspada terhadap intervensi Qing, Belanda tidak secara terbuka mencaplok Republik Lanfang, dan menciptakan rezim boneka lainnya. Baru pada tahun 1912, ketika Dinasti Qing runtuh, Belanda memproklamasikan pendudukan mereka. Pontianak kemudian ditetapkan sebagai Residentie Westerafdeeling van Borneo, salah satu residensi berbeda di Hindia Belanda.

Pada tahun 1942, Jepang menduduki Pontianak dan mengusir Belanda. Pemerintah militer Jepang memutuskan untuk mengizinkan Kesultanan Pontianak tetap ada. Namun, Jepang segera menjadi tidak percaya pada Kesultanan, dan antara 1943-1944, Jepang mengatur penangkapan massal elit Melayu, Arab, Cina, Jawa, Menadon, Dayak, Bugis, Batak, Minangkabau, Belanda, India, dan Eurasia di Kalimantan, termasuk semua Sultan Melayu, menuduh mereka berencana menggulingkan kekuasaan Jepang, dan kemudian membantai mereka. Ini dikenal sebagai pembantaian Pontianak.

Setelah Jepang menyerah, pengadilan militer Belanda di Pontianak pada tanggal 18 Oktober 1947 menghukum Laksamana Jepang Michiaki Kamada atas kejahatan perang dan menjatuhkan hukuman mati.

Kemerdekaan

Setelah Jepang menyerah, Belanda kembali ke Pontianak. Karena penentangan internasional terhadap upaya Belanda untuk memulihkan kendali atas Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda terpaksa mengakui Republik Sukarno sebagai pemerintah de facto Jawa dan Sumatera dan memberikan kemerdekaan kepada Republik Indonesia Serikat (RUSI) pada tanggal 27 Desember 1949. Pontianak menjadi ibu kota Negara Bagian Kalimantan Barat, salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat. Itu dipimpin oleh Sultan Hamid II, sultan terakhir Kesultanan Pontianak. Namun, Hamid II dituduh bersekongkol dengan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling untuk mengorganisir kudeta anti-Republik di Bandung dan Jakarta. Peran Hamid dalam kudeta menyebabkan peningkatan agitasi di Kalimantan Barat untuk diintegrasikan ke dalam Republik Indonesia.

Mengikuti misi pencarian fakta oleh Komisi Pemerintah, DPR RUSI memilih dengan 50 suara untuk menggabungkan Kalimantan Barat menjadi Republik Indonesia. Menyusul bentrokan dengan pasukan KNIL yang didemobilisasi di Makassar dan upaya pemisahan diri dari Republik Maluku Selatan Ambon, Republik Indonesia Serikat federal dibubarkan pada 17 Agustus 1950, mengubah Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh pemerintah pusat di Jakarta. Pontianak kemudian menjadi ibu kota provinsi baru Kalimantan Barat.

Geografi

Pontianak terletak di garis khatulistiwa dengan ketinggian berkisar antara 0,1 hingga 1,5 meter di atas permukaan laut. Ini dibagi menjadi tiga bagian oleh sungai Kapuas Besar, Kapuas Kecil dan Landak. Kota ini terletak di atas tanah datar di delta Sungai Kapuas dengan ketinggian permukaan tanah berkisar antara 0,1 hingga 1,9 meter di atas permukaan laut.

Kota ini dibangun di atas peneplant musim gugur dan sedimen aluvial yang secara fisik berupa tanah liat Tipe. Jenis tanah ini berupa endapan gambut dan endapan lumpur sungai Kapuas. Dengan kondisi tersebut, tanah menjadi sangat tidak stabil dan memiliki daya dukung yang sangat rendah. Komposisi tanah di sepanjang sungai terbentuk dari proses pengendapan yang menghasilkan daerah tropaquent ditambah dengan tropofluevent dan dalam kondisi fluvawuent jenuh permanen. Endapan safir baru berasal dari berbagai komposisi dan bentuk, termasuk bahan organik.

Pontianak terdiri dari sejenis organosol tanah, abu-abu, humus, dan aluvial dengan karakteristik berbeda. Di beberapa titik, ketebalan tanah gambut mencapai 1–6 meter, sehingga menyebabkan daya dukung yang buruk jika ditetapkan untuk membangun gedung-gedung besar untuk dijadikan lahan pertanian.

Zona waktu

Pada tahun 1963 dengan Keputusan Presiden No. 243, kota tersebut masuk dalam zona Waktu Indonesia Tengah (WITA) (GMT + 8).

Pada tanggal 1 Januari 1988 dengan Keputusan Presiden No. 41 , Kalimantan Barat (bersama Kalimantan Tengah) mundur 1 jam dari zona Waktu Indonesia Tengah (WITA), ke zona Waktu Indonesia Barat (WIB). Oleh karena itu, pada tahun 1988 kota Pontianak merayakan Tahun Baru sebanyak dua kali: pada pukul 00:00 pada GMT + 8 dan kemudian pada pukul 00:00 pada GMT + 7.

Iklim

Fitur Pontianak iklim hutan hujan tropis di bawah klasifikasi iklim Köppen (Af) tanpa musim sama sekali. Kota ini mengalami curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, dengan curah hujan rata-rata 3.210 mm (126 in) per tahun. Hanya di bulan Agustus rata-rata curah hujan bulanan turun di bawah 200 mm (7 7⁄8 in). Suhu udara konsisten sepanjang tahun, dengan suhu tertinggi rata-rata 30 ° C (86 ° F) dan suhu rendah rata-rata 23 ° C (73 ° F).

Iklim

Pontianak beriklim hutan hujan tropis (Af) dengan curah hujan deras hingga sangat deras sepanjang tahun.

Pembagian administratif

Kota Pontianak terdiri dari enam kabupaten administratif ( kecamatan ), tercantum di bawah ini beserta wilayah dan populasinya pada Sensus 2010, bersama dengan perkiraan jumlah penduduk secara resmi pada pertengahan 2019. Tabel tersebut mencakup jumlah desa administratif ( kelurahan ) di setiap kabupaten, dan kode posnya.

Empat kabupaten pertama di atas terletak di tepi selatan Sungai Kapuas (tercantum dari barat ke timur), sedangkan dua kabupaten terakhir terletak di tepi utara (timur dan Kabupaten utara dipisahkan oleh Sungai Landak, yang bergabung dengan Sungai Kapuas Kecil pada titik ini menjadi Sungai Kapuas Besar). Kawasan yang sudah terbangun atau perkotaan berlanjut ke arah tenggara di sepanjang tepi selatan Sungai Kapuas ke kota Sungai Raya, sebuah kecamatan di Kabupaten dengan nama yang sama.

Demografi

Sensus tahun 2010 menghitung jumlah penduduk Pontianak sebanyak 554.764 jiwa; perkiraan resmi terbaru (dari pertengahan 2019) adalah 646.661. Penduduk merupakan elemen penting dalam perencanaan kota dan wilayah. Dalam pendanaan, unsur penduduk antara lain diperlukan untuk menghitung kebutuhan lahan, kebutuhan sarana dan prasarana suatu daerah, memprediksi pergerakan transportasi, dan memberikan gambaran tentang karakteristik suatu daerah. Aspek-aspek penting penduduk dalam kaitannya dengan perencanaan adalah jumlah penduduk, sebaran penduduk dan komposisi penduduk.

Peneliti melakukan penelitian terhadap data penduduk di Kota Pontianak selama 2 tahun terakhir yaitu tahun 2010 - 2015 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Pontianak dengan mengakses data secara online. Berdasarkan data yang diperoleh, Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Pontianak periode 1990-2000 adalah 0,7 persen per tahun, sedangkan untuk periode 2000-2010 meningkat menjadi 1,8 persen per tahun.

Suku

Penduduk Pontianak didominasi oleh etnis Melayu dan Tionghoa. Selain itu juga ada etnis Dayak, Jawa, Bugis, Madura, Arab, Sunda, Banjar, Batak, Minangkabau dan lain-lain. Perkawinan antar kelompok etnis adalah hal biasa di Pontianak.

Dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia, Pontianak adalah salah satu dari sedikit kota dengan jumlah penduduk Tionghoa yang signifikan. Orang Tionghoa telah tinggal di Pontianak selama berabad-abad. Sebagian besar orang Tionghoa melewati Kalimantan barat dari abad ketiga untuk peristirahatan terakhir dalam perjalanan berlayar mereka sebelum kembali ke Tiongkok. Mulai abad ke-7 banyak orang Tionghoa mulai berdagang di Kalimantan bagian barat. Selain pedagang Tionghoa, pada abad ke-17 penjajahan Belanda mendatangkan Tionghoa massal untuk menambang emas. Sebagian besar penambang Tiongkok ini berasal dari provinsi Fujian atau Guangdong.

Dua subkelompok terbesar orang Tionghoa Pontianak adalah Teochew dan Hakka. Orang Teochew berasal dari pantai timur laut Guangdong dan orang Hakka dari pedalaman Fujian datang ke Kalimantan Barat. Masyarakat Hakka adalah kelompok perintis yang tinggal di desa dan wilayah pertambangan, bekerja sebagai penambang, petani, dan juga pedagang kecil. Hal ini berbeda dengan masyarakat Teochew yang lebih memilih tinggal di perkotaan untuk berdagang. Bahkan kini suku Teochew merupakan populasi etnis Tionghoa terbesar di kota Pontianak dan selatan Pontianak. Suku Hakka sebagian besar tinggal di wilayah utara Pontianak.

Suku terbesar kedua di Pontianak adalah suku Melayu. Melayu Pontianak adalah salah satu penduduk awal kota. Pontianak adalah tempat kedudukan Kesultanan Pontianak, sebuah kerajaan besar Melayu selama berabad-abad. Orang Melayu kebanyakan tinggal di tepian Sungai Kapuas dan sungai lainnya di Pontianak. Mereka juga tinggal di daerah pesisir kota. Sebagian besar Melayu Pontianak bekerja sebagai pedagang, pejabat pemerintah, dan pekerjaan lain.

Kelompok etnis penting lainnya yang tinggal di Pontianak adalah Dayak, Bugis, Madura, dan Jawa. Sebagian besar orang Dayak yang tinggal di Pontianak merupakan masyarakat asli / asli Kalimantan Barat bagian pedalaman. Beberapa orang Dayak masih mempraktikkan animisme, yang melibatkan ritual dan tarian tradisional. Namun, sebagian besar orang Dayak telah memeluk agama Kristen dan menjadi lebih urban. Orang Bugis, Jawa, dan Madura adalah pendatang dari daerah lain di Indonesia. Mereka merantau ke Pontianak karena program Transmigrasi yang diberlakukan oleh Belanda dan berlanjut pada masa Orde Baru. Konflik sering meletus antara orang Madura dan Dayak.

Bahasa

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi di Pontianak dan juga bagian lain di Indonesia. Bahasa asli dan lingua franca utama kota ini adalah Melayu Pontianak, suatu ragam bahasa Melayu yang sangat erat kaitannya dengan Melayu Johor-Riau di Malaysia, Riau, dan Kepulauan Riau di Indonesia dan Singapura. Perbedaan utama antara Bahasa Melayu Pontianak dan Bahasa Indonesia adalah bahwa mereka menggunakan "Kamek" bukan "Kami" dan "Kitak" bukan "Kalian". Namun banyak orang di kota ini juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.

Bahasa lain yang berlaku di Pontianak adalah bahasa Mandarin. Beberapa varietas Tionghoa ada di Pontianak, yang paling terkenal adalah Teochew dan Hakka. Teochew adalah varian dari Min Selatan yang berasal dari Guangdong. Bahasa ini sebagian besar dapat dimengerti oleh bahasa Hokkien. Teochew sebagian besar digunakan di bagian tengah dan selatan kota, serta pinggiran kota di selatan kota. Hakka digunakan di bagian utara kota, serta di pinggiran kota di utara kota. Penutur Teochew lebih banyak dari pada penutur Hakka di Pontianak. Variasi bahasa Cina ini telah dipengaruhi oleh bahasa lain seperti bahasa Melayu, Indonesia, dan bahasa lainnya. Mereka memasukkan kata-kata dari bahasa Indonesia dan bahasa lain. Oleh karena itu, penutur asli dari China mungkin akan kesulitan untuk berkomunikasi menggunakan Teochew dan Hakka dengan orang dari Pontianak. Varian bahasa Mandarin lainnya seperti Kanton dan Hokkien memiliki lebih sedikit penutur.

Bahasa lain seperti Jawa, Madura, Bugis, dan dialek Dayak yang berbeda juga digunakan.

Agama

Mayoritas penduduknya beragama Islam (63,4%); sisanya beragama Buddha (20,2%), Katolik (9,1%), Protestan (3,2%), Konghucu (1,3%), Hindu (0,1%), dan lain-lain (0,1%). Sebagian besar Muslim adalah Melayu, Jawa, Madura, dll. Meskipun sebagian besar penganut agama Buddha dan Konghucu adalah Tionghoa Indonesia, banyak juga Tionghoa yang menganut agama Kristen. Orang Dayak menganut Katolik atau Protestan, sementara juga memasukkan kepercayaan lokal. Beberapa orang Dayak juga menganut Kaharingan, agama rakyat setempat. Namun, pemerintah Indonesia tidak mengakui Kaharingan sebagai agama dan oleh karena itu mengklasifikasikan penganut kepercayaan Kaharingan sebagai pemeluk agama Hindu.

Beberapa tempat ibadah terdapat di Pontianak, seperti Masjid Jami Pontianak, yang merupakan dianggap sebagai masjid agung Pontianak. Berada di kompleks keraton bekas Kesultanan Pontianak, masjid ini merupakan masjid tertua dan merupakan salah satu dari dua bangunan yang menjadi saksi berdirinya kota Pontianak. Pada awalnya masjid ini juga digunakan sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak. Nama masjid ini diberikan oleh Syarif Usman Alkadri yang merupakan anak dari Sultan Sharif Abdurrahman yang melanjutkan pembangunan masjid tersebut hingga selesai.

Tempat ibadah lainnya adalah Katedral Santo Yusuf, Pura Giripati Mulawarman, Vihara Budhisatva Karaniya Metta, dan Jemaat Gereja Kristen Kalimantan Barat Pontianak. Sebagian sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, sebagian lagi dibangun oleh pemerintah Indonesia.

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto Kota Pontianak, menurut bisnis ADHK 2010 lapangan pada tahun 2015 mencapai 20,80 triliun rupiah. Jika dibandingkan dengan tahun 2014, volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan Kota Pontianak pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 0,96 triliun rupiah atau sebesar 4,84 persen. Perekonomian Kota Pontianak sebagian besar bertumpu pada industri, pertanian, dan perdagangan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran telah menjadi basis perekonomian terbesar di Kota Pontianak dalam beberapa tahun terakhir.

Hal ini terlihat dari sebaran persentase PDRB, dimana sektor perdagangan besar dan eceran memiliki peran terbesar dalam total PDB dibandingkan dengan sektor lainnya yaitu 18,30 persen. Dari sisi penggunaan, nilai PDB menunjukkan bagaimana produk barang dan jasa digunakan untuk konsumsi, investasi, atau perdagangan dengan pihak asing / daerah. Berdasarkan persentase PDRB, permintaan agregat Kota Pontianak pada tahun 2015 secara keseluruhan mengalami pertumbuhan sebesar 4,84 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan komponen konsumen rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 10,61 triliun rupiah atau sebesar 51 persen.

Industri

Jumlah usaha industri besar dan menengah yang ada di kota Pontianak sejak tahun 2005 sebanyak 34 perusahaan. Tenaga kerja yang terserap oleh perusahaan industri berjumlah 3.300 orang, terdiri dari 2.700 pekerja produksi dan pekerja lainnya serta 600 administrator. Perusahaan industri menengah atau besar yang terletak di Kabupaten Pontianak Utara memiliki tenaga kerja terbesar sekitar 2.952 orang.

Nilai keluaran yang dihasilkan dari perusahaan industri besar atau menengah sebesar 1,51 triliun rupiah, dimana perusahaan industri besar atau yang berada di Kecamatan Pontianak Utara didominasi oleh perusahaan industri karet. Nilai output terkecil berasal dari perusahaan yang berada di Kabupaten Kota Pontianak senilai 2,85 Milyar Rupiah.

Untuk Nilai Tambah Bruto (NTB) yang diperoleh dari seluruh perusahaan industri besar dan menengah di Kota Pontianak selama tahun 2005, hal ini sebesar 217,57 miliar rupiah dan pajak tidak langsung yang diperoleh sebesar 462,78 juta rupiah. Nilai tambah pada factor fee yang diperoleh sebesar 217,10 miliar rupiah.

Untuk sentra industri kecil hasil industri pertanian dan kehutanan (IHPK) menunjukkan bahwa industri makanan ringan yang berpusat di Sungai Kuhl merupakan yang terbesar. industri kecil lokal yang mempekerjakan sebanyak 329 orang. Nilai investasinya mencapai 249,50 juta dan penjualan sebesar 780,50 juta. Industri tenun talas air memiliki 16 unit usaha dengan nilai investasi 17,5 juta dan penjualan 110 juta rupiah yang sebagian besar berlokasi di Tanjung Hulu, Pontianak Timur.

Pertanian

Per 2006, ubi kayu, beras, dan ubi rambat merupakan tanaman unggulan di Pontianak. Warga juga bertani sayur mayur dan lidah buaya. Nangka, pisang, dan nanas juga ditanam di kota. Peternakan di Pontianak beternak sapi (sapi dan susu), kambing, babi, dan ayam.

Di sekitar Pontianak, tumbuhan obat Mitragyna speciosa , yang dikenal dengan bahasa sehari-hari sebagai kratom, adalah tumbuh, dan Pontianak merupakan pusat utama ekspor jamu.

Perdagangan

Perdagangan adalah salah satu bisnis yang berkembang pesat di kota Pontianak. Perdagangan modern mulai berkembang pada tahun 2001 dengan berdirinya Mal Sun Apartments di Kota Dubai. Pusat perbelanjaan modern mulai dibangun di berbagai sudut kota, seperti Mall Ayani Mega dan Mall Pontianak. Berbagai perusahaan retail nasional mulai berbisnis di Pontianak.

Pendidikan

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Pontianak, pada tahun 2015 Pontianak memiliki 111 Taman Kanak-kanak, 161 Sekolah Dasar, 76 Sekolah Menengah Pertama. sekolah menengah atas, 44 sekolah menengah atas, dan 29 sekolah menengah kejuruan. Tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) memiliki rasio murid-guru tertinggi yaitu 22: 1.

Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Pontianak untuk kelompok usia 7–12 tahun selama tiga tahun terakhir berkisar antara 100 persen. Pada kelompok usia 13-15 tahun, partisipasi sekolah pada kelompok usia ini mengalami fluktuasi yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, partisipasi sekolah anak-anak berusia 13–15 tahun terus meningkat hingga mendekati 100 persen.

Ada perguruan tinggi dan universitas yang dioperasikan oleh otoritas negara, serta lembaga swasta dan agama. Universitas Tanjung Pura, sebuah perguruan tinggi negeri, didirikan di Pontianak pada tahun 1963. Perguruan tinggi lain diurus oleh lembaga swasta: Universitas Muhammadiyah, Universitas Widya Dharma, Universitas Panca Bhakti, STMIK, (STAIN), POLNEP, dan AKBID St Benedicta .

Budaya

Keragaman budaya di Pontianak menghadirkan berbagai acara sepanjang tahun. Masyarakat Tionghua / Tionghoa Indonesia merayakan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh (Festival Lampion yang jatuh pada hari kelima belas bulan pertama penanggalan lunar), dan Cheng Meng (Festival Menyapu Makam, pada hari pertama istilah matahari kelima kalender lunar). Orang Melayu merayakan Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulidur Rasul. Orang Dayak merayakan musim panen, yang secara lokal dikenal sebagai Gawai Dayak. Acara ini biasanya diwarnai dengan parade budaya yang boros keliling kota.

Garis khatulistiwa yang melewati Pontianak ditandai dengan tugu di sebelah utara pusat kota. Antara 21-23 Maret dan 21-23 September (ekuinoks), kulminasi matahari dapat diamati di dekat instrumen, di mana matahari akan terbenam tepat pada 0 ° pada siang hari (12:00), menyebabkan bayangan di monumen dan segala sesuatu di sekitar menghilang selama beberapa detik.

Masakan

Pontianak juga terkenal dengan wisata kulinernya, dengan campuran pengaruh Tionghua / Tionghoa Indonesia, Melayu, Dayak lokal, dan Jawa. Keragaman menjadikan kuliner Pontianak sebagai surganya kuliner. Makanannya terkenal sebagai berikut:

  • Nasi Cap Cai (nasi campur), dengan berbagai hidangan lain untuk dipesan
  • Steam Bun (Bakpao dengan variasi isian)
  • Batang Burok
  • Lek Tau Suan (makanan penutup kacang hijau dengan nasi renyah)
  • Bubur pedas
  • Yammie (mi yang diaduk dengan variasi mie telur, mie tipis, mie beras "kwetiau"), mini-pangsit "Kiaw"
  • Paceri nanas
  • Ikan Asam pedas
  • Pwe Ki Mue (Bubur pesawat, bubur nasi dengan banyak lauk)
  • Tart Durian
  • Nasi Ayam "koi peng"
  • Kaloci
  • Kue bulan atau "gwek pia"
  • Kwe Kia Theng
  • Tencalok
  • Lemang
  • He Mue (Nasi dan pilihan dari berbagai ikan)
  • Lempok Durian
  • Nasi Kari
  • Nasi ayam
  • Roti Kap
  • Tempoyak
  • Bingke
  • Hekeng (kue udang)
  • Tar Susu
  • Chai Kwee

Transportasi

Pontianak terhubung dengan baik melalui jalan darat, udara, dan laut. Ada beberapa pilihan transportasi umum kota dan antarkota.

Udara

Bandara Internasional Supadio adalah bandara utama Pontianak dan Kalimantan Barat, yang dibangun oleh Jepang selama Perang Dunia II. Pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan bandara tersebut, menghasilkan bentuknya yang sekarang. Bandara ini tidak berada di dalam batas kota, melainkan di Kabupaten Kubu Raya yang berjarak 17 km dari pusat kota. Saat ini menjadi bandara terbesar kedua di Kalimantan dalam hal ukuran terminal, setelah Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman di Balikpapan.

Setelah pembangunan terminal modern baru untuk menggantikan terminal lama dan terminal yang terlalu banyak digunakan, bandara saat ini memiliki kapasitas 3,8 juta penumpang per tahun, dua kali lipat dari kapasitas terminal sebelumnya. Bandara ini melayani penerbangan domestik langsung ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, kebanyakan di Jawa dan Kalimantan. Apalagi bandara ini juga memiliki penerbangan internasional ke beberapa kota di Malaysia, seperti Kuala Lumpur dan Kuching. Bandara ini diharapkan dapat diperluas lagi di masa mendatang untuk melayani peningkatan jumlah penumpang yang bepergian dari dan ke Pontianak. Saat ini, satu-satunya cara menuju ke bandara adalah dengan taksi, mobil pribadi, atau menggunakan bus DAMRI.

Laut

Pelabuhan Pontianak yang terletak di tepian Sungai Kapuas , merupakan denyut perekonomian kota dan menghubungkan wilayah seluas 146,8 ribu km2 di Provinsi Kalimantan Barat. Luas wilayah ini sebanding dengan pulau Jawa ditambah pulau Madura digabungkan. Kota-kota utama yang dilayani antara lain Pontianak, Sintete, Sambas, Sintang, Sanggau, Kapuas, Hulu, Telok Air, Ketapang, dan Singkawang.

Terdapat dua wilayah pelabuhan di bawah naungan PT. Pelindo II (Persero) yaitu Pelabuhan Sintete dan Pelabuhan Ketapang.

Bagian pedalaman pelabuhan ini didominasi oleh perkebunan, sektor kehutanan, sektor pertambangan, dan industri pengolahan bahan baku. Untuk memenuhi peningkatan kegiatan ekonomi di wilayah ini, Pelindo II telah mengoperasikan terminal peti kemas untuk pelabuhan Pontianak. Telah dilengkapi dengan dua crane peti kemas dan berbagai peralatan modern yang dapat memberikan dukungan optimal untuk kegiatan bongkar muat di wilayah tersebut.

Pelabuhan Penyeberangan Pontianak merupakan pelabuhan penumpang utama. Pelabuhan ini memungkinkan koneksi feri ke kota-kota lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Batam, dll. Saat ini pelabuhan tidak melayani tujuan internasional seperti Singapura dan Malaysia.

Darat

Pontianak terletak di Jalan Tol Trans Kalimantan. Jalan raya tersebut memungkinkan Pontianak terhubung dengan kota-kota besar lainnya di Kalimantan seperti Palangka Raya, Banjarmasin, dan Samarinda. Selain itu, perjalanan ke Malaysia Timur dan Brunei dapat dilakukan dengan menggunakan Tol Trans-Kalimantan. Jarak tempuh dari Pontianak ke Kuching di Sarawak, Malaysia sekitar 340 km dengan waktu tempuh 6 jam 30 menit. Jarak tempuh dari Pontianak menuju Bandar Seri Begawan di Brunei sekitar 1.100 km dengan waktu tempuh sekitar 18 jam. Semua orang yang bepergian ke Malaysia atau Brunei harus melewati pos pemeriksaan perbatasan Entikong, pos pemeriksaan perbatasan utama Indonesia di Kalimantan.

Pontianak saat ini tidak memiliki jalan tol. Namun, telah diusulkan untuk membangun jalan raya yang menghubungkan Pontianak dengan Singkawang, dan ke pos pemeriksaan perbatasan Entikong dekat Malaysia.

Kota kembar

Pontianak memiliki hubungan saudara dengan kota-kota berikut:

  • Kuching, Sarawak, Malaysia
  • São Tomé, São Tomé and Príncipe




Gugi Health: Improve your health, one day at a time!


A thumbnail image

Poltava Ukraina

Poltava Shevchenkivskyi Raion Kyivskyi Raion Podilskyi Raion Poltava (Inggris: / …

A thumbnail image

Popayan Colombia

Popayán Popayán (pengucapan bahasa Spanyol: (dengarkan)) adalah ibu kota …

A thumbnail image

Porac Filipina

Porac Porac, resmi menjadi Kotamadya Porac (Kapampangan: Balen ning Porac ; …